Pelaku usaha spa di Jakarta merasa diperlakukan tidak adil dan sangat keberatan dengan rencana penaikan tarif pajak hiburan jenis tertentu seperti spa, panti pijat dan mandi uap dari semula 20% menjadi 35% oleh Pemprov DKI Jakarta.”Kami sangat keberatan dengan kenaikan tarif pajak itu menjadi 35%. Memangnya margin kami itu seberapa?,” tutur Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa Indonesia (ASPI) DPD DKI Jakarta, Yudit Elma, kepada Bisnis.com, Jumat (30/1/2015). Pihaknya mengakui bahwa untuk pengeluaran secara produk memang kecil, akan tetapi biaya operasional untuk gedung, listrik, kebersihan ruangan, air, upah karyawan, insentif, biaya kursus terapis, dan lainnya cukup besar. Untuk memulai membuka usaha spa kesehatan dan kecantikan bahkan biayanya tidaklah murah.
“Lalu kami mau untung seberapa persen sih kok pajaknya hingga 35%,” tuturnya.
Yudit memaparkan untuk membuka usaha ini, dengan luasan bangunan sekitar 200 meter persegi, membutuhkan dana hampir Rp2 miliar. Itu pun, lanjutnya, tidak bisa break event point dengan cepat, harus beberapa tahun yang cukup lama.
“Margin kami itu berkisar antara 20%-30%. Ini saja sudah bisa dikatakan the best. Kalau margin kami bisa sampai 50%, dikenakan pajak diatas 30% pun tetap akan bisa diterima, tetapi kami saat ini yang terbaik itu marginnya yan 30% itu,” ungkapnya.
Jadi, lanjutnya pihaknya sangat keberatan dengan rencana Pemprov DKI Jakarta, dan mengkuatirkan akan banyak pelaku industri ini terancam bangkrut alias gulung tikar.
Selain itu, lanjutnya, para pelaku usaha yang tergabung dalam ASPI juga mempertanyakan kenapa bisnis spa dikenakan tarif pajak hiburan. Sementara itu, katanya, berdasarkan data Kementerian Pariwisata, bisnis spa terrmasuk unit tersendiri dan untuk terapisnya juga diatur di bawah payung Kementerian Kesehatan.
“Akan tetapi undang-undang yang ada saat ini tidak mengakomodirnya. Lantaran dianggap sudah termasuk otonomi daerah. Keberatan kami soal bisnis spa yang dikenakan pajak hiburan ini juga sudah disampaikan ke Kemendagri. Akan tetapi belum ada tanggapan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam mendirikan usaha spa pun tidaklah mudah, harus melewati banyak persyaratan atau aturan yang dikeluarkan Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kesehatan. Seperti misalnya, terapis juga harus melewati Badan Nasional Standarisasi Profesi, sehingga sudah tersertifikasi kemampuannya.
“Kami ini kan spa kesehatan dan kecantikan, tidak ada sesuatu yang dipertontonan atau dilihat, sehingga kenapa dimasukkan pajak hiburan? Padahal kalau itu hiburan, berarti harus ada yang ditonton atau dinikmati,” tuturnya.
Pihaknya pun tidak menampik bahwa banyak bertebaran usaha spa dalam tanda kutip yang di sana ada sesuatu yang dinikmati/ ditonton, sehingga pemerintah berfikiran bisa digenjot perolehan pajaknya.
“Kalau yang dimaksud adalah spa dalam tanda kutip itu, ya mungkin saja marginnya besar. Lha akan tetapi kami yang benar-benar bergerak di bisnis spa kesehatan dan kecantikan ini marginnya tidak besar,” tuturnya.
Yang jelas, tegasnya, saat ini pihaknya juga bingung ke depan akan seperti apa, sembari saat ini fokus mengelola usahanya yang telah dibangun selama ini.